Kiat Cosmart untuk menarik perhatian pasar di tengah tantangan ekonomi
Awal bulan ini, startup keanggotaan e-commerce “Cosmart” membuka kehadirannya di Indonesia dengan pendanaan awal sebesar $5 juta. Cosmart baru diluncurkan pada kuartal kedua tahun ini, namun kehadirannya menarik perhatian karena tumpang tindih dengan dunia e-commerce dan e-grocery.
Hal ini karena startup digital biasanya menghadapi tantangan ekonomi makro yang memaksa mereka untuk melakukan sejumlah efisiensi. Belum lagi para pelaku e-grocery juga harus beradaptasi akhir-akhir ini, terutama yang bergerak di layanan quick commerce, berbalik untuk tetap bertahan karena tidak menemukan entitas ekonomi yang bisa.
Sebagai catatan, Cosmart memposisikan diri sebagai one-stop solution bagi konsumen yang ingin membeli kebutuhan bulanan. Dengan membayar biaya keanggotaan, konsumen mendapatkan akses ke produk berkualitas tinggi dengan harga lebih rendah, dapat mengklaim bahwa mereka tidak dapat ditemukan di platform e-commerce lain, dan memiliki kesempatan untuk mencoba sampel produk dari merek baru.
Jadi apa strategi Cosmart untuk tetap unggul di tengah tantangan ini? Untuk membahas lebih lanjut topik ini, edisi #TuesdayStartup kali ini mengundang co-founder dan CEO Cosmart Alvin Kumarga untuk berbicara.
Apakah Anda memiliki solusi untuk masalah yang valid?
Alvin menjelaskan, di tengah tantangan ini selalu ada dua sisi yang bisa dilihat. Di sisi positifnya, ada peluang yang bisa dipecahkan oleh startup. Khusus untuk Cosmart, kebutuhan belanja rutin rumah tangga selalu ada, dan karena fungsinya yang penting harus selalu terpenuhi.
Ide awal mendirikan Cosmart berasal dari pengalaman pribadinya yang setiap hari harus berbelanja di platform e-commerce. Tidak ada toko yang memiliki barang lengkap, jadi dia harus mencari di lebih dari satu toko. Belum lagi promosi diskon dan ongkos kirim yang ditawarkan setiap toko yang harus dioptimalkan secara manual.
Ia juga melakukan penelitian lebih mendalam tentang industri ini di Indonesia. Telah dicatat bahwa pemain e-commerce yang ada tidak memiliki solusi khusus untuk produk barang konsumsi. Jika ada, solusinya masih dalam masa pertumbuhan.
Bahkan dari jenis e-grocery, mayoritas fokus pada sisi kenyamanan, mulai dari pengiriman instan dan pemilihan barang yang baik. Berbicara tentang potensi, tentunya pembelian barang harian di platform online masih sangat kecil dari total belanja ritel secara nasional.
“Tapi harga kenyamanan adalah harga barang yang lebih mahal. Sejauh ini belum ada yang main-main dengan value brand, meski orang Indonesia sangat senang dengan harganya yang murah. Kami percaya kami dapat mengatasi pasar dan akhirnya Cosmomart lahir, ”katanya.
Target konsumen Cosmart juga berbeda, lanjut Alvin, yaitu keluarga yang memiliki lebih dari tiga anggota dalam satu rumah. Oleh karena itu faktor harga sangat penting untuk kelompok ini. Semakin besar tabungan, semakin banyak dana yang dapat digunakan untuk keperluan lain.
Dengan membayar keanggotaan, pengguna dapat menghemat pengeluaran lebih lanjut untuk memenuhi kebutuhan bulanan yang perlu dipenuhi. Oleh karena itu, bagi konsumen di segmen ini, ini bukan tentang pengiriman cepat, tetapi tentang berapa banyak yang bisa mereka hemat.
Namun, bagi Alvin, keanggotaan berbayar bukanlah alat untuk menyelesaikan masalah yang ingin diselesaikan Cosmart, melainkan sumber pendapatan utama perusahaan. “Pendapatan dari penjualan barang biasanya bukan margin yang besar, tetapi karena kami memberikan penghematan biaya yang kami buat kepada konsumen [bekerja sama dengan prinsipal], kami mendapatkan pendapatan keanggotaan.”
Belanja offline tetap dibutuhkan
Meski begitu, Alvin tidak memungkiri bahwa belanja offline tetap diperlukan di tengah digitalisasi ini. Pengalaman belanja offline semakin kaya karena konsumen mengutamakan produk seperti B. pembelian sayur dan buah, bisa langsung dilihat dan dirasakan. Kedua cara berbelanja ini diprediksi akan terus saling melengkapi.
Sumber :